Profil Pengusaha Eri Purwanto
Tren burung lovebird berdampak kepada hidup seseorang. Seorang pria berjulukan Eri Purwanto tidak lagi menjabat manajer. Memang cukup booming terutama di Semarang. Burung jenis paruh bengkok yang punya warna menewarn. Harga memang terbilang relatif terjangkau tetapi mudah dijual.
Di Semarang sudah banyak orang mencoba menangkar. Tidak banyak bisa bertahan lama. Butuh lebih dari sekedar hobi burung untuk melakukan. Salah satunya yang bertaha, ya siapa lagi, kalau bukan Eri yang sempat ditentang sang istri.
Selain bertahan juga bisa membuatkan kualitas. Padahal awalnya ia memulai dengan tempat yang sederhana. Suara kekehan burung lovebird terdengar cetar saat kau berkunjung ke rumahnya. Rumah Eri ada di perumahan Dempel Baru, Kec. Pedurungan, Semarang, sudah penuh dengan lovebird rapih dalam kandang.
Semua tersusun rapih di teras rumah menyambut para tamu. Lalu dipojokan rumah ada sangkar khsusus besar buat penangkaran. Pria berkumis tipis ini memang tidak menyangka alhasil menakjubkan. Padahal ia sendiri abnormal dengan dunia perburungan, apalagi lovebird. Hanya manajer perusahaan di sebuah perusahaan asing.
Namun menemukan potensi besar dibalik burung lovebird. Alkisah ia mendapatka inspirasi dari anak buahnya sendiri semasa menjadi pegawai. Ia heran kenapa anak buahnya tidak suka lembur. Setiap kali ditawari buat lembur malah gak mau. "Ternyata, dirumahnya punya peliharaan tiga pasang lovebird," tuturnya.
Dan sekali panen menghasilkan anakan. Sang anak buah menghasilkan 5- 6 tulur, dan bisa dihargai mencapai Rp.750 ribu hingga Rp.1 jutaan. Waktu itu lovebird belum sebooming sekarang masih jarang penangkar.
Akhir 2008 ia memutuskan buat menjajal potensi urusan ekonomi ini. Peruntungan buat menangkar burung lovebird buat dijadikan ladang bisnis. Bahkan Eri nekat keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Sempat mendapat saingan dari sang istri, Siti Eka Winarni, tetapi ia tetap ngotot percaya diri bisa taklukan lovebird.
Gigih meyakinkan istri bahwa lovebird cukup menghidupi mereka. Dorongan harus sukseslah membuat Eri membeli sepasang lovebird lutino. Harga beli waktu itu sepasang sudah mencapai Rp.12 juta. Beruntung ia menerima perlindungan istri sekarang. "Kemudian beranak, anaknya saya jual, saya belikan indukan lagi."
Ayah empat anak ini mengaku sudah memiliki lebih dari 30 pasang indukan. Dimana jenisnya sudah banyak mulai lutino, batman, violet, albino, palamas, hingga blorok. Pasangan indukan tersebut menghasilkan anak hingga 20 anakan sekali panen.
Tempat pun sudah tidak mencukupi. Burung segitu banyaknya di rumah Eri masih kurang. Masih ada lagi, ia menempatkan mereka di rumah sang mertua. Penghasilkan diakui hingga tiga kali lipat dibanding waktu ia bekerja dulu. Ia sendiri enggan menyebut berapa besaran uangnya.
Eri cukup menggunakan sangkar kecil buat beternak. Usaha beternak lovebird nya dimulai dengan ukuran sangkar 40x60. Soal perjodohan diharapkan sangkar khusus alasannya yakni sistemnya koloni. Maksudnya tidak bisa cuma satu- satu tetapi biarkan si burung sendiri memilih.
Untuk pemasaran sudah hingga luar Semarang, menyerupai Bekasi bahkan hingga ke Kalimantan. "Kalau di Kalimantan harga palamas masih tinggi," ungkap Eri.
Agar urusan ekonomi tetap berjalan kualitas tetap nomor satu. Meski urusan ekonomi penangkaran, setiap burung merupakan satu keturunan juaran berkualitas tinggi. Tidak salah kalau alhasil menuruni tabiat induknya. Harga menjadi relatif stabil. Karena lovebird booming, berarti harga jadi murah, makanya tidak bisa sembarangan.
"Saya hanya maen di trah khusus kekekan alasannya yakni harganya masih mahal," utasnya.
Berkat kegigihan dan rasa percaya diri membuatnya dikenal. Pria yang menerima julukan master lovebird asal Semarang. Namun usaha tidak semudah kami tuliskan disini. Utamanya menghadapi dilema yang ia sebut 3 M. "Tiga M, yaitu maling, mati, mabur (terbang)," Eri menerangkan.
Sebagai orang sukses berbisnis lovebird. Ia sering menjadi acuan buat memulai. Terutamanya di sekitaran Semarang dan beberapa kawasan sekitar. Menjadi acuan bagaimana menghasilkan lovebird juara. Menurut Eri semuanya biasa mulai makanan, sangkar bersih, serta memakai vitamin biasa.
Semua tersusun rapih di teras rumah menyambut para tamu. Lalu dipojokan rumah ada sangkar khsusus besar buat penangkaran. Pria berkumis tipis ini memang tidak menyangka alhasil menakjubkan. Padahal ia sendiri abnormal dengan dunia perburungan, apalagi lovebird. Hanya manajer perusahaan di sebuah perusahaan asing.
Namun menemukan potensi besar dibalik burung lovebird. Alkisah ia mendapatka inspirasi dari anak buahnya sendiri semasa menjadi pegawai. Ia heran kenapa anak buahnya tidak suka lembur. Setiap kali ditawari buat lembur malah gak mau. "Ternyata, dirumahnya punya peliharaan tiga pasang lovebird," tuturnya.
Dan sekali panen menghasilkan anakan. Sang anak buah menghasilkan 5- 6 tulur, dan bisa dihargai mencapai Rp.750 ribu hingga Rp.1 jutaan. Waktu itu lovebird belum sebooming sekarang masih jarang penangkar.
Akhir 2008 ia memutuskan buat menjajal potensi urusan ekonomi ini. Peruntungan buat menangkar burung lovebird buat dijadikan ladang bisnis. Bahkan Eri nekat keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Sempat mendapat saingan dari sang istri, Siti Eka Winarni, tetapi ia tetap ngotot percaya diri bisa taklukan lovebird.
Gigih meyakinkan istri bahwa lovebird cukup menghidupi mereka. Dorongan harus sukseslah membuat Eri membeli sepasang lovebird lutino. Harga beli waktu itu sepasang sudah mencapai Rp.12 juta. Beruntung ia menerima perlindungan istri sekarang. "Kemudian beranak, anaknya saya jual, saya belikan indukan lagi."
Bisnis berkembang
Ayah empat anak ini mengaku sudah memiliki lebih dari 30 pasang indukan. Dimana jenisnya sudah banyak mulai lutino, batman, violet, albino, palamas, hingga blorok. Pasangan indukan tersebut menghasilkan anak hingga 20 anakan sekali panen.
Tempat pun sudah tidak mencukupi. Burung segitu banyaknya di rumah Eri masih kurang. Masih ada lagi, ia menempatkan mereka di rumah sang mertua. Penghasilkan diakui hingga tiga kali lipat dibanding waktu ia bekerja dulu. Ia sendiri enggan menyebut berapa besaran uangnya.
Eri cukup menggunakan sangkar kecil buat beternak. Usaha beternak lovebird nya dimulai dengan ukuran sangkar 40x60. Soal perjodohan diharapkan sangkar khusus alasannya yakni sistemnya koloni. Maksudnya tidak bisa cuma satu- satu tetapi biarkan si burung sendiri memilih.
Untuk pemasaran sudah hingga luar Semarang, menyerupai Bekasi bahkan hingga ke Kalimantan. "Kalau di Kalimantan harga palamas masih tinggi," ungkap Eri.
Agar urusan ekonomi tetap berjalan kualitas tetap nomor satu. Meski urusan ekonomi penangkaran, setiap burung merupakan satu keturunan juaran berkualitas tinggi. Tidak salah kalau alhasil menuruni tabiat induknya. Harga menjadi relatif stabil. Karena lovebird booming, berarti harga jadi murah, makanya tidak bisa sembarangan.
"Saya hanya maen di trah khusus kekekan alasannya yakni harganya masih mahal," utasnya.
Berkat kegigihan dan rasa percaya diri membuatnya dikenal. Pria yang menerima julukan master lovebird asal Semarang. Namun usaha tidak semudah kami tuliskan disini. Utamanya menghadapi dilema yang ia sebut 3 M. "Tiga M, yaitu maling, mati, mabur (terbang)," Eri menerangkan.
Sebagai orang sukses berbisnis lovebird. Ia sering menjadi acuan buat memulai. Terutamanya di sekitaran Semarang dan beberapa kawasan sekitar. Menjadi acuan bagaimana menghasilkan lovebird juara. Menurut Eri semuanya biasa mulai makanan, sangkar bersih, serta memakai vitamin biasa.