Surabi Imut Kecil Enak Bandung Berkah Krisis Moneter

Profil Pengusaha Ating Supardi dan Keluarga 



Mantan penjual daging ini melihat peluang lain. Namanya pengusaha pasti ada saja kejadian menyebabkan ilham wacana bisnis. Waktu itu Ating Supardi mencicipi pahitnya gulung tikar alasannya yakni krisis moneter. Memiliki lima orang anak yang perlu dibiayai, Ating berpikir ulang bagaimana berbisnis dan menemukan perjuangan baru.

Uang Rp.50.000 dijadikan modal usaha. Ating membuka perjuangan khas Bandung yaitu surabi di depan rumah. Ia nekat jualan surabi setiap sore hari. "Karena kan belum ada yang jualan sore," jelasnya. Lalu beliau menyebut bahwa kebanyakan penjualnnya nenek. Awalnya berjualan siang hari tetapi memilih sore harinya.

Surabi miliknya punya dua varian rasa: surabi oncom dan surabi manis. Berjalannya waktu ia bisa buka di pinggiran jalan Sekolah Tinggi Pariwisata NHI Geger Kalong, Bandung.

Dia dibantu sang putri, Riana Rismawati, membulatkan tekad membuka perjuangan Juli 1998. Pada Juli 2001, ia membuka usahanya di daerah lain yakni Jalan Dr. Setiabudi 175 Bandung. Sebagai sosok pencetus membuat mereka mudah menerima hati masyarakat.

Lambat laun usahanya dikenal diantara masyarakat Bandung. Keberhasilan mereka alasannya yakni ketekunan dalam hal berbisnis.

Surabi imut menjadi pencetus serabi aneka rasa. Sejak berdirinya sudah memiliki 27 rasa berbeda. Ada rasa ayam, strawberry, telur, cokelat,dll. Pembeli tidak lagi sekitaran Bandung tetapi banyak juga dari Jakarta. Ia menyebutkan mereka rela datang jauh untuk menikmati surabi.

"Jaman dulu oma, menyebutnya panekuk... dunia internasional menyebutnya pancake, Indonesia menyebut itu Serabi..., Bandung menyebutnya Surabi," terang Risma.

Dona Lubis, menantu dari bapak Ating, menjelaskan perjuangan mereka memang berkembang pesat. Nama dari Surabi Imut sendiri berkembang menjadi berdasarkan daerah cabangnya. Tetapi semuanya masih dikerjakan oleh satu perjuangan bersama Surabi Imut.

Yang berlokasi di NHI dikenal dengan Surabi NHI. Topping rasanya dibikin lebih faktual, memiliki 54 varian dan terus berkembang. Harga dikisaran Rp.3000 hingga Rp.9000 per- surabi.

Pindah daerah memang sudah biasa. Mereka tidak cuma berbisnis surabi termasuk pisang bakar ataupun colenak. Keluarganya sendiri sudah terbiasa akan persaingan. Banyak orang menggandakan mencoba mengambil si Surabi Imut. "...tapi jikalau mereka yang cari rasa, insyaAllah mereka akan datang ke sini," papar Dona.

Pindah lokasi memang mensugesti omzet hingga 80 persen. Mempertahankan konsumen cara satu- satu ya menjaga kualitas rasa. Untuk memperkuat identitas maka mereka memperkecil ukuran surabi. Tentu juga dengan penambahan kualitas rasa biar semakin ajib.

Paling beda ya rasa mayonnise. Paling beda dibanding surabi bikinan perjuangan lain ya oncom. "Oncom itu yang bisa ngeracik cuma mama saja," Dona menambahkan. "Yang lain gak ada yang bisa."

Meski masih bertahan mengkontrak, Dona berharap mereka bisa membangun daerah sendiri, yang kelak diberi nama Rumah Surabi Imoet, yang akan memproduksi 1.500 porsi setiap hari.